Kritik terhadap Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Kritik terhadap Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Oleh: Judika Malau

Berpikir kritis (critical thinking) sering digaungkan dalam berbagai pertemuan. Ini berkaitan dengan banyaknya informasi dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan- bidang agama, politik, pendidikan, keluarga, bisnis, perdagangan, dan bidang lainnya.

Dengan keberadaan media sosial dan internet, informasi-informasi yang beredar tidak mudah dideteksi apakah itu benar atau tidak sehingga kebutuhan berpikir kritis menjadi sangat relevan.

Baca juga: Six-Hat Decision Making, Meningkatkan Skill Anda Membuat Keputusan

Namun, berpikir kritis yang sehat dan benar belum sering digunakan. Berpikir kritis yang ideal belum menjadi kebiasaan. Berpikir kritis masih sebatas berpikir negatif yang parsial- mulai dari hanya menunjukkan penolakan, melihat kelemahan semata, memojokkan pihak lain, membunuh karakter orang, memberi kritik yang tidak sehat, dan memberikan argumentasi tanpa data yang valid dan autentik.

Meminjam judul buku Edward de Bono, berpikir kritis yang digunakan banyak menunjukkan sikap ‘I Am Right You Are Wrong.’ Kritik terhadap Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Masih ada unsur ego dalam mengajukan kritik. Kritik muncul karena tidak dapat menerima kelebihan orang lain atau merasa diri akan dirugikan kalau ide yang diajukan dilaksanakan.

Bagaimana berpikir kritis jenis ‘I am right and you are wrong’ sering muncul? Mengapa itu menjadi pola utama percakapan, diskusi atau rapat? Ini menyimpan misteri. Menurut Edward de Bono, kebiasaan berpikir kritis parsial banyak dipengaruhi oleh proses berpikir yang terjadi di Barat.

Selama ribuan tahun, berdiskusi hidup di Barat. Kelemahan pemikiran seseorang dilihat dan diungkapkan. Kemudian, disanggah pihak lain dengan memberi argumentasi. Ada tesis dan antitesis.

Socrates (470-399 BC) dapat dianggap sosok yang memulai proses berpikir kritis ini dengan mengajukan pertanyaan. Dalam percakapan, ia selalu bertanya bila ia melihat kelemahan dalam pemikiran lawan bicaranya.

Bila lawan bicaranya memberikan argumentasi balik, Socrates bertanya kembali dengan menunjukkan kelemahan pada argumentasi lawan bicaranya. Siklusnya begitu terus sampai lawan bicaranya mengakui bahwa ada kelemahan dalam pemikirannya.

Pola Socrates ini kemudian, dikembangkan oleh Aristoteles. Muncullah istilah silogisme. Bila ada dua pernyataan, dari kedua pernyataan itu dapat diambil sebuah konklusi. Dan silogisme ini digunakan oleh masyarakat Barat dalam percakapan maupun dalam diskusi termasuk dalam pemecahan masalah.

Demikianlah, kebiasaan saling mengkritik menjadi sebuah tradisi di Barat dan akhirnya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Tidak heran, bila tipe berpikir kritis ini disebut oleh Edward de Bono sebagai Aristotelian-type-thinking.

Namun, bukan hanya berpikir kritis aspek dari proses berpikir. Masih ada proses berpikir lain- bertanya, berpikir kreatif, berpikir positif, mengungkapkan perasaan, dan mengontrol proses berpikir.

Kombinasi dari enam proses berpikir ini disebut Edward de Bono sebagai metode yang sistematis, yang ia populerkan dengan istilah Six Thinking Hats (Enam Topi Berpikir), untuk memecahkan masalah, khususnya masalah-masalah yang besar dan kompleks. Kritik terhadap Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Dalam metode yang sistematis, ada ruang untuk mengkritik. Ada proses berpikir kritis, yang kadang disebut critical thinking atau berpikir negatif. Formulanya adalah kritik dan data pendukung. Kritik didukung oleh fakta berupa informasi yang valid, autentik, dan terkini (updated).

Jadi, tidak cukup hanya memberikan kritik yang sentimen, egois, emosional atau unsur lain yang muncul dari sikap mementingkan diri sendiri, tetapi memberikan kritik dengan data yang riil, autentik, updated dan diambil dari sumber yang dipercaya.

Selain itu, berpikir kritis dalam metode yang sistematis tidak dirancang untuk menghadang atau mematikan ide, tetapi digunakan untuk memperbaiki ide yang sudah ada. Kritik menjadi masukan untuk membuat ide lebih baik untuk memecahkan masalah atau membuat perbaikan.

Tentu, tidak mudah menerapkan proses berpikir dengan metode yang sitematis untuk memecahkan masalah atau membuat perbaikan. Setiap orang berpikir. Berpikir merupakan kemampuan bawaan.

Pertanyaan bisa muncul. Untuk apa belajar berpikir kalau kemampuan ini sudah dimiliki setiap orang? Berpikir kritis atau berpikir sistematis untuk memecahkan masalah atau membuat perbaikan- ini menjadi pilihan. (JM)

Penulis adalah Direktur Business Excellence Luminance dan penulis buku Habits of the Mind.

—0—

Baca juga: